TOKOH biksu nasionalis Wirathu mengungkapkan pengakuannya terkait konflik agama di Myanmar.
Pengusung gerakan 969 ini takut Myanmar akan seperti Indonesia setelah
islam masuk ke nusantara pada abad ke-13. Pada akhir abad ke-16, Islam
dapat menggantikan Hindu dan Buddha sebagai agama yang dominan di
pulau-pulau utama di Indonesia.
Dengan menyebarkan nilai 969, Wirathu berupaya mengingatkan kaum Buddha.
'Lampu kuning' itu berisi tanda untuk mengawasi Muslim yang mulai
menipiskan identitas Myanmar sebagai negara Buddha.
"Dengan uang, mereka lebih kaya dan menikahi perempuan Buddha Burma yang
kemudian masuk Islam dan menyebarkan agama," katanya. Perilaku umat
Islam itu, ujarnya, membuat pengikut kuil Buddha menjadi lebih sedikit.
Wirathu melanjutkan, ketika Muslim menjadi kaya, mereka akan membangun
masjid yang dibangun tidak sama dengan Pagoda dan Kuil Buddha. "Mereka
seperti musuh berpangkalan buat kita. Lebih banyak masjid, berarti lebih
banyak musuh yang ada. Oleh karena itu, kita harus mempertahankannya."
Biksu ini mulai berkhotbah dengan gaya apartheid seperti gerakan 969
pada 2001. Ketika itu, ada laporan dari Departemen Luar Negeri AS
tentang peningkatan kekerasan anti-Muslim di Myanmar. Sentimen
anti-Muslim disulut pada Maret 2001. Ketika itu, Taliban menghancurkan
patung Buddha di Bamiyan, Afghanistan.
Upaya provokasi Wirathu tetap berlangsung hingga dia ditahan pada 2003
dan divonis 25 tahun penjara. Dia diputus bersalah karena menyebarkan
pamflet anti-Muslim yang menghasut kerusuhan komunal di tempat
kelahirannya di Kyaukse, sebuah kota dekat Meikhtila. Ketika itu, s10
Muslim tewas di Kyaukse karena pergerakan Buddha.
Post a Comment