Ini
adalah Makalah Prof. Wertheim yang diterbitkan sebagai suplemen pada
majalah ARAH, No. 1 tahun 1990. Makalah Prof. Wertheim ini pernah
disampaikan dalam sebuah ceramah pada tanggal 23September 1990 di
Amsterdam. berikut artikelnya:
Para hadirin yang terhormat!
Saya
minta ijin untuk, sebelum mencoba memberi analisa tentang peristiwa
1965, lebih dahulu menceritakan bagaimana terjadinya bahwa saya,
walaupun mata pelajaran saya sosiologi, lama kelamaan mulai merasa diri
sebagai pembaca suatu detective story yang cari pemecahan suatu
teka-teki.
Dalam
tahun 1957 saya bersama isteri saya mengajar sebagai guru besar tamu
di Bogor. Saya pernah bertemu dengan ketua PKI Aidit dan beberapa tokoh
lain dalam pimpinan partai. Aidit menceritakan tentang kunjungannya ke
RRC, baru itu; dari orang lain saya dengar bahwa Mao Zedong bertanya
pada Aidit: "Kapan kamu akan mundur ke daerah pedesaan?" Ucapan itu
saya masih ingat waktu dalam tahun 1964 saya terima kunjungan di
Amsterdam dari tokoh terkemuka lain dari PKI, Nyoto, yang pada waktu
itu ada di Eropa untuk menghadiri suatu konperensi di Helsinki. Saya
engingatkannya bahwa keadaan di Indonesia pada saat itu mirip
sekadarnya kepada keadaan di Tiongkok dalam tahun 1927, sebelum kup
Ciang Kaisyek. Pendapat saya ialah bahwa ada bahaya besar bahwa militer
di Indonesia juga akan merebut kekuasaan. Saya anjurkan dengan kera s
supaya golongan kiri di Indonesia mempersiapkan diri untuk perlawanan
dibawah tanah, dan mundur ke udik. Jawaban Nyoto ialah bahwa saat bagi
militer untuk dapat rebut kekuasaan sudah terlambat. PKI telah terlalu
kuat baik dalam badan perwira maupun dalam badan bawahan tentara dan
angkatan militer yang lain.
Saya
tidak berhasil meyakinkan Njoto. Pagi 1 Oktober '65 kami dengar siaran
melalui radio tentang formasi Dewan Revolusi di Jakarta. Sahabat saya,
Prof. De Haas menelpon saya dan menyatakan: "Itu tentu revolusi kiri!"
Saya menjawab: "Awas, menurut saya lebih masuk akal: provokasi!". Pada
tanggal 12 Oktober kami dengar bahwa Jendral Soeharto, yang belum
kenal kami namanya, telah berhasil tangkap kekuasaan. De Haas telepon
saya lagi, dan mengatakan: "Saya takut mungkin kemarin Anda benar!"
Seminggu
sesudahnya saya terima kunjungan dari kepala sementara kedutaan RRC di
Den Haag. Ia rupanya memandang saya sebagai ahli politik tentang
Indonesia, dan ia hendak mengetahui: "Apa yang sebenarnya situasi
politik di Indonesia sekarang?" Jawaban saya ialah: "Tentu Anda sebagai
orang Tionghoa dapat mengerti keadaan! Sangat mirip kepada yang terjadi
di Tiongkok dalam tahun 1927 waktu Ciang Kaisyek mulai kup kanan
dengan tentaranya, dan komunis kalah, di Syanghai, dan lantar di Hankau
(Wuhan) dan di Canton (Guangzhou)". Ia tidak mau setuju. Di bulan
Januari tahun 1966 saya terima dari beberapa rekan yang saya kenal,
yang mengajar di Cornell Univesity di A.S., suatu 'Laporan Sementara'
tentang peristiwa September-Oktober di Indonesia. Mereka sangat
menyangsikan apakah peristiwa itu benar suatu kup komunis, seperti
dikatakan oleh penguasa di Indonesia dan oleh dunia Barat.
Yang
terima laporan itu, boleh memakai bahannya (begitu mereka tulis kepada
saya), tetapi untuk sementara tanpa menyebut sumbernya, oleh karena
mereka masih mencari bahan tambahan, dan meminta reaksi dan informasi
lagi. Dengan mempergunakan bahan dari laporan Cornell itu, saya menulis
suatu karangan yang dimuat dalam mingguan Belanda "De Groene
Amsterdammer" pada tanggal 19 Februari 1966, dengan judul "Indonesia
berhaluan kanan" Dalam karangan itu saya tanya: mengapa di dunia Barat
sedikit saja perhatian terhadap pembunuhan massal di Indonesia, kalau
dibanding dengan tragedi lain di dunia, yang kadang- kadang jauh lebih
enteng daripada yang terjadi di Indonesia baru-baru ini? Barangkali
alasannya bahwa pandangan umum seolah-olah golongan kiri sendirilah
yang bersalah, apakah bukan mereka sendiri yang mengorganisir ku p 30
September dan yang bersalah dalam pembunuhan 6 jendral itu?
Maka
dalam karangan itu saya mencoba memberi rekonstruksi peristiwa-
peristiwa dan menarik kesimpulan bahwa sedikit sekali bukti tentang
golongan PKI bersalah dalam peristiwa itu. Saya juga tambah bahwa cara
perbuatan dengan menculik dan membunuhi jenderal tidak mungkin berguna
untuk PKI - jadi salah mereka tidak masuk akal. Lagi hampir tidak ada
persiapan dari golongan kiri untuk menghadapi situasi yang akan muncul
sesudah kup. Dalam karangan itu saya juga menyebut kemiripan kepada
peristiwa di Shanghai dalam tahun 1927, yang juga sebenarnya ada kup
dari golongan reaksioner. Kesimpulan saya dalam karangan di "Groene
Amsterdammer" itu: "Terminologi resmi di Indonesia masih adalah kiri,
akan tetapi jurusannya adalah kanan". Kemudian, dalam bulan Februari
tahun '67, Mingguan Perancis "Le Monde" mengumumkan wawancara dengan
saya.
Dalam
wawancara saya bertanya: "Mengapa Pono dan Sjam, yang rupanya tokoh
penting dalam peristiwa 65 itu, tidak diadili? Dikatakan dalam proses
yang telah diadakan, misalnya proses terhadap Obrus Untung, bahwa
mereka itu orang komunis yang terkemuka.
Apa
yang terjadi dengan mereka itu, khususnya dengan Sjam, yang agaknya
seorang provokatir, yang pakai nama palsu?" Mencolok mata bahwa beberapa
minggu sesudah wawancaranya itu ada berita dari Indonesia bahwa Sjam,
yang namanya sebenarnya Kamaruzzaman, ditangkap. Saya dengar kabar itu
di radio Belanda, pagi jam 7. Dikatakan bahwa Sjam itu sebagai seorang
Double agent! Saya ingin dengar lagi siaran jam 8 diulangi bahwa Sjam
ditangkap, tetapi kali ini TIDAK ditambah bahwa ia double agent! Rupanya
dari kedutaan Indonesia ada pesan supaya istilah itu jangan dipakai!
Tetapi saya dapat Sinar Harapan dari 13 Maret '67, dan di sana ada
cerita tentang cara Sjam itu ditangkap. Dan judul berita itu: "Apakah
Sjam double agent?"
Tetapi
sesudahnya di pers Indonesia istilah double agent itu tidak pernah
diulangi lagi. Dalam semua proses di mana Sjam muncul sebagai saksi
atau terdakwa, Sjam selamanya dilukiskan sebagai seorang komunis yang
sejati, yang dekat sekali dengan ketua Aidit. Ia selalu MENGAKU bahwa
dia yang memberi semua perintah dalam peristiwa 1 Oktober, tetapi ia
selalu tambah bahwa yang sebenanrya memberi perintah itu Aidit yang
juga ada pada hari itu di Halim, dan yang sebenarnya menurut Sjam dalang
dibelakang segala yang terjadi. Tentu Aidit tidak dapat membela diri
dan membantah segala bohong dari Sjam, oleh karena ia dibunuh dalam
bulan November 1965 tanpa suatu proses, ditembak mati oleh Kolonel Jasir
Hadibroto. Begitu juga pemimpin PKI lain, seperti Njoto dan Lukman,
tidak dapat membela diri di pengadilan.
Tentulah
segala eksekusi tanpa proses itu membantu Orde Baru dalam
menyembunyikan kebenaran. Sudisman diadili, tetapi pembelaannya tidak
mendapat kemungkinan untuk mengajukan hal-hal yang melepaskan PKI dari
sejumlah tuduhan: ia dipaksa untuk mencoret bagian tentang hal itu dari
pleidoinya! Waktu Sjam kedapatan sebagai double agent yang sebagai
militer masuk kedalam PKI untuk mengintai, saya mulai menduga pula bahwa
Soeharto sendiri mungkin terlibat dalam permainan-munafik. Pada
tanggal 8 April 1967 di mingguan "De Nieuwe Linie" dimuat lagi
wawancara dengan saya. Dalam wawancara ini saya telah menyebut
kemungkinan bahwa "kup" dari 1 Oktober 1965 adalah satu provokasi dari
kalangan perwira; dan waktu itu saya telah TAMBAH bahwa Soehartolah
yang paling memanfaatkan kejadian-kejadian. Saya mengatakan begitu:
"Aneh sekali: kalau semua itu akan terjadi di suatu cerita detektif,
segala tanda akan menuju kepada dia, Soeharto, paling sedikit sebagai
orang yang sebelumnya telah punya informasi. Misalnya setahun sebelum
peristiwa 65, Soeharto turut menghadiri pernikahan Obrus Untung yang
diadakan di Kebumen. Untung dahulu menjadi orang bawahan Soeharto di
tentara. Lagi, dalam bulan Agustus tahun 65, Soeharto juga bertemu
dengan Jenderal Supardjo, di Kalimantan. Dan mereka, Untung dan
Supardjo, telah main peranan yang utama dalam komplotan.
Aneh
lagi, bahwa Soeharto tidak ditangkap dalam kup, dan malahan KOSTRAD
tidak diduduki dan dijaga pasukan yang memberontak, walaupun letaknya
di Medan Merdeka dimana banyak gedung diduduki atau dijaga. Semua
militer mengetahui bahwa kalau Yani tidak di Jakarta atau sakit,
Soehartolah sebagai jenderal senior yang menggantikannya. Aneh juga
bahwa Soeharto bertindak secara sangat efisien untuk menginjak
pemberontakan, sedangkan grup Untung dan kawannya semua bingung."
Wawancara itu saya akhiri dengan mengatakan: "Tetapi sejarahpun lebih
ruwet dan sukar daripada detective-story" .
Begitulah
pendapat saya di tahun 1967. Tetapi dalam tahun 1970 terbit buku
Arnold Brackman, jurnalis A.S. yang sangat reaksioner; judulnya "The
Communist Collapse in Indonesia". Di halaman 100 Brackman menceritakan
isi suatu wawancara dengan Soeharto, agaknya dalam tahun 1968 atau
1969, tentang suatu pertemuan Soeharto dengan Kolonel Latief, tokoh
yang ketiga dari pimpinan kup tahun 65. Isinya: "Dua hari sebelum 30
September anak lelaki kami, yang umurnya 3 tahun, dapat celaka di
rumah. Ia ketumpahan sup panas, dan kami dengan buru-buru perlu
mengantarkannya ke rumah sakit.
Banyak
teman menjenguk anak saya di sana pada malam 30 September, dan saya
juga berada di rumah sakit. Lucu juga kalau diingat kembali. Saya ingat
Kolonel Latief datang ke rumah sakit malam itu untuk menanyakan
kesehatan anak saya. Saya terharu at as keprihatinannya. Ternyata
kemudian Latief adalah orang terkemuka dalam kejadian yang sesudahnya.
Kini menjadi jelas bagi saya malam itu Latief ke rumah sakit bukan untuk
menjenguk anak saya, melainkan sebenar-nya UNTUK MENCEK SAYA. Ia
hendak tahu betapa genting celaka anak saya dan ia dapat memastikan
bahwa saya akan terlampau prihatin dengan keadaan anak saya. Saya tetap
di rumah sakit sampai menjelang tengah malam dan kemudian pulang ke
rumah". Begitulah kutipan dari buku Brackman tentang wawancaranya
dengan Soeharto. Untuk saya pengakuan ini dari Soeharto, bahwa ia
bertemu dengan Kolonel Latief kira-kira empat jam sebelum aksi terhadap
7 jenderal mulai, sungguh merupakan 'rantai yang hilang' - the missing
link dalam detective story. Hal ini dengan jelas membuktikan hubungan
Soeharto dengan tokoh utama dalam peristiwa tahun 1965.
Tentu
Latief, yang pergi ke R.S. Gatot Subroto, yaitu Rumah Sakit Militer, 3
atau 4 jam sebelum serangan terhadap rumah-rumah 7 jenderal mulai,
maksudnya untuk menceritakan pada Soeharto tentang rencana mereka ¡V
tetapi sukar membuktikan itu selama Soeharto berkuasa, dan Latief dalam
situasi orang tahanan. Hanya satu hal yang kurang terang. Mengapa
Soeharto mencerita-kan pada Brackman tentang pertemuan ini? Agaknya ada
orang yang memperhatikan kedatangan Latief ke rumah sakit. Oleh karena
itu Soeharto merasa perlu memberi alasan kunjungan itu yang dalam
dipahami: Latief mau periksa apakah Soeharto begitu susah oleh karena
keadaan sehingga ia tak mungkin bertindak pada esok harinya! Pengakuan
Soeharto itu menjadi untuk saya kesempatan untuk mengumumkan karangan di
mingguan "Vrij Nederland" pada tanggal 29 Agustus 1970, dengan judul
"De schakel die ontbrak: Wat deed Soeharto in de nacht van de
staatsgreep? " (Rantai yang hilang: apa yang diperbuat Soeharto pada
malam kup?).
Dalam
karangan itu saya menguraikan segala petunjuk bahwa Soeharto benar
terlibat di dalam peristiwa tahun 65. Karangan ini dimuat satu hari
sebelum Soeharto datang ke Belanda untuk kunjungan resmi - kunjungan
yang gagal sama sekali. Karangan yang serupa itu juga saya umumkan dalam
bahasa Inggris di dalam majalah ilmiah "Journal of Contemporary Asia"
tahun 1979, dengan judul: "Soeharto and the Untung Coup: The Missing
Link". Waktu saya mengumumkan dua karangan itu, saya belum mengetahui
bahwa dalam wawancara lain, sebelum bulan Agustus 1970 itu, Soeharto
sekali lagi menyebut pertemuannya dengan Kolonel Latief itu - tetapi
kali ini dengan nada yang sangat berlainan. Wawancara itu dimuat dalam
mingguan Jerman Barat, "Der Spiegel", tanggal 27 Juni, halaman 98.
Wartawan Jerman itu bertanya: "Mengapa tuan Soeharto tidak termasuk
daftar jenderal-jenderal yang harus dibunuh?" Jawaban Soeharto yaitu:
"Pada jam 11 malam Kolonel Latief, seorang dari komplotan kup itu,
datang ke rumah sakit untuk membunuh saya, tetapi nampak akhirnya ia
tidak elaksanakan rencananya karena tidak berani melakukannya di tempat
umum."
Masa,
heran seolah-olah Kolonel Latief ada rencana untuk membunuh Soeharto, 4
jam sebelum aksi terhadap 7 jenderal yang lain akan dimulai, yang
tentu berakibat seluruh komplotan akan gagal! Kebohongan Soeharto itu
suatu bukti lagi bahwa Soeharto mau menyembunyikan apa-apa, dan cari
akal untuk luput dari persangkaan ia terlibat dalam kup! Sedangkan
tokoh lain dari komplotan, sebagai Obrus Untung, Jenderal Supardjo dan
Mayor Sudjono sudah lama terkena hukuman mati dan diekseskusi, Kolonel
Latief selama lebih dari 10 tahun tidak diadili.
Alasan
yang disebut oleh pemerintah, yaitu bahwa ia 'sakit-sakitan' an tidak
dapat menghadiri sidang pengadilan. Benar bahwa ia kena luka berat di
kaki waktu tertangkap; tetapi kawannya di penjara mengatakan bahwa ia
sudah lama dapat menghadap di sidang sebagai saksi atau terdakwa.
Akhirnya, dalam tahun 1978 sidang dalam perkara Latief mulai. Dalam
eksepsinya dari tanggal 5 Mei, Latief telah memberi keterangan, bahwa ia
besama keluarganya berkunjung di rumah Soeharto dengan dihadiri Ibu
Tien, dua hari sebelum tanggal 30 September; ia juga menceritakan bahwa
ia mengunjungi Soeharto pada malam 30 September di Rumah Sakit Militer.
Ia menerangkan bahwa ia, Obrus Untung dan Jenderal Supardjo, yang baru
pulang dari Kalimantan, bertiga pimpinan militer dari aksi keesokan
harinya, berkumpul di rumahnya pada jam 8 untuk berunding.
Mereka
memutuskan untuk malam itu juga menemui Soeharto, untuk memperoleh
dukungannya dalam rencana. Latief mengusulkan supaya mereka akan
bertiga menghadap Soeharto, tetapi Untung tidak berani, dan mereka
akhirnya mengutus Latief oleh karena ia yang paling dekat dengan
Soeharto. Untung dan Supardjo masih punya urusan lain yang penting.
Latief telah menjadi bawahan dari Soeharto waktu Jogya diduduki Belanda,
tahun 1949. Malahan, menurut keterangan Latief dalam eksepsinya, waktu
serangan ke Jogya pada tanggal 1 Maret 1949, dengan Jogya diduduki
pasukan Republik selama 6 jam, bukan Soeharto yang sebenarnya masuk
Jogya melainkan Latief sendiri! Waktu Latief pulang ke komandonya di
pegunungan bersama grupnya, Soeharto bersama ajudannya sedang makan
soto! Pada waktu komando Mandala yang dibawah komando Soeharto, Latief
menjadi kepala intellijen dari Komando di Makasar.
Dalam
eksepsinya Latief dengan terang menjelaskan bahwa waktu ia bertemu
dengan Soeharto di rumah sakit, ia menceritakan padanya seluruh rencana
untuk malam itu. Ia minta pengadilan supaya Soeharto dan istrinya akan
dipanggil sebagai saksi. Putusan pengadilan: tidak, karena kesaksiannya
tak akan 'relevan'. Dalam pledoinya yang tertulis Latief mengulangi
lebih jelas lagi tentang pembicaraannya di rumah sakit. Dia menerangkan:
"Setelah saya lapor kepada Jenderal Soeharto mengenai Dewan Jenderal
dan lapor pula mengenai Gerakan, Jenderal Soeharto menyetujuinya dan
tidak pernah mengeluarkan perintah melarang" (hal. 128). Pledoi dan
Eksepsi Latief kami punya seluruhnya dalam bahasa Indonesia. Dalam pers
Indonesia segala keterangannya tentang pertemuan dengan Soeharto itu
sama sekali tidak diumumkan dan tidak diperhatikan.
Mengapa
begitu? Untuk saya dari mulanya jelas bahwa keterangan yang lebih
sempurna lagi disimpan di suatu tempat DILUAR Indonesia, dengan pesan
supaya lantas diumumkan kalau Latief akan dibunuh! Soeharto agaknya
takut kalau kebenaran tentang pertemuan dengan Latief akan diumumkan!
Dalam otobiografinya ia bohong sekali lagi: ia menceritakan bahwa ia
bukan BERTEMU dengan Latief di rumah sakit, melainkan hanya lihat dari
ruangan di mana anaknya dirawat dan di mana ia berjaga bersama Ibu
Tien, bahwa Latief jalan di koridor melalui kamar itu! Siapa sudi
percaya? Juga aneh sekali bahwa Soeharto ,menurut keterangannya
sendiri, jam 12 malam waktu keluar dari rumah sakit, bukan terus mencoba
memberikan tanda berwaspada kepada jenderal-jenderal kawannya yang
dalam tempo tiga atau empat jam kemudian akan ditimpa nasib malang, m
elainkan terus pulang ke rumah untuk tidur! Hal yang menarik yaitu bahwa
Kolonel Latief beberapa waktu silam telah meminta pada Soeharto supaya
hukumannya dikurangi.
Dalam
Far Eastern Economic Review dari 2 Agustus tahun ini (1990)
diberitahukan bahwa memoirenya disimpan di satu bank - entah di mana.
Jadi, telah agak tentu bahwa Soeharto terlibat dalam peristiwa 65 dengan
berat. Menurut fasal 4 dari Keputusan Kepala Kopkamtib bertanggal 18
Oktober tahun 1968, dalam Golongan A yang paling berat termasuk semua
orang yang terlibat dengan langsung, di antaranya dalam grup itu juga
segala orang yang mempunyai pengetahuan lebih dahulu terhadap rencana
kup dan yang lalui dalam melapor kepada yang berwajib. Jadi, Soeharto
pada malam itu seharusnya mesti melapor paling sedikit kepada Jenderal
Yani! Dan tentu juga kepada Jenderal Nasution. Artinya bahwa Soeharto
jauh lebih jelas 'terlibat' dalam peristiwa 1 Oktober '65 daripada semua
korbannya yang selama 10 tahun atau 14 tahun ditahan di penjara atau
di kamp konsentrasi seperti di pulau Buru, dengan alasan bahwa mereka
terlibat 'tidak langsung' dalam peristiwa G30S!
Jadi,
sekarang telah jelas bahwa Soeharto terlibat oleh karena mempunyai
pengetahuan lebih dahulu. Lebih sukar membuktikan, bahwa ia juga aktip
dalam suatu PROVOKASI. Soeharto tentu bukan satu-satunya orang yang
punya pengetahuan lebih dahulu. Terang bahwa Kamaruzzaman (Sjam)
memainkan peran penting sekali dalam provokasi. Ia militer, agaknya
dalam Kodam V Jakarta.
Tetapi
siapa atasannya yang mendorongnya untuk mempersiapkan kup bersama tiga
perwira tinggi itu, dengan maksud untuk memkompromitir baik PKI maupun
Soekarno? Sekarang saya akan coba memberi analisa yang sedikit
mendalam. Memang ada orang lain yang punya pengetahuan lebih dahulu.
Barangkali Soekarno sendiri punya sedikit pengetahuan lebih dahulu.
Tetapi
tentu ia tidak ingin PEMBUNUHAN jenderal yang dituduhi membangun Dewan
Jenderal. Barangkali maksudnya hanya untuk menuntut pertanggungjawaban
mereka. Sesudah ia dengar bahwa ada beberapa jenderal yang mati, ia
memberi perintah supaya seluruh aksi itu berhenti. Mungkin juga bahwa
tiga perwira tinggi itu, Untung, Latief dan Supardjo, bukan menghendaki
pembunuhan, melainkan hanya menuntut pertanggungjawaban mereka. Juga
tidak jelas mengapa Aidit, ketua PKI, dijemput dari rumahnya pada malam
itu dan diantarkan ke Halim.
Rupanya
pada saat itu ia punya kepercayaan kepada Sjam. Tetapi kami sama
sekali tidak tahu peranan Aidit sesudah ia disembunyikan di rumah
seorang bintara di Halim; menurut segala kesaksian ia tidak muncul dalam
perundingan- perundingan dan pertemuan-pertemuan , lagi pula tidak
bertemu dengan Presiden Soekarno yang juga dibawa ke Halim. Oleh karena
ia dibunuh tanpa proses, kami tidak punya keterangan dari dia sendiri -
kami hanya punya keterangan dari Sjam yang membohong seolah-olah semua
ia, Sjam, berbuat, terjadi atas perintah Aidit.
Misalnya
dalam proses Latief di tahun 1978 Sjam 'mengaku' bahwa bukan Latief,
melainkan DIA yang memberi perintah untuk m embunuhi jenderal- jenderal
yang masih hidup waktu dibawa ke Lubang Buaya ¡V tetapi ia tambah
seolah- olah pembunuhan itu juga atas perintah Aidit. Jadi seluruh
perbuatan Sjam dimaksud untuk memburukkan nama PKI. Dan suatu alasan
mengapa Latief TIDAK dapat hukuman mati, ialah oleh karena ia mungkir
bahwa dia yang perintahkan membunuhi jenderal, dan Sjam dalam proses
itu mengakui bahwa ia sendiri yang memerintahkannya. Tetapi segala
'jasanya' kepada grup Soeharto tidak berguna untuk dia pribadi:
beberapa tahun silam ia dieksekusi bersama pembantunya Pono dan Bono.
Agak
jelas bahwa pada malam 30 September, dua-duanya, Soekarno dan Aidit
yakin bahwa Dewan Jenderal sebenarnya ada dan bahwa Dewan itu berencana
untuk merebut kekuasaan pada tanggal 5 Oktober 1965. Begitu juga grup
Untung, Latief dan Supardjo memang yakin bahwa Dewan Jenderal itu memang
ada. Dalam prosesnya dalam tahun 1967 Sudisman turut menjelaskan bahwa
ia masih yakin tentang eksistensi Dewan Jenderal itu dan rencana
mereka.
Soeharto Dalang G30S?
Dalam
tahun 1970 saya juga masih berpendapat bahwa Dewan Jenderal itu benar
ADA. Begitu juga pendapat PKI, misalnya dalam otokritik mereka. Tetapi
lama kelamaan saya mulai sangsikan apakah dewan itu benar ada dan aktip
dalam tahun 1965. Sudah tentu, kalu peristiwa 65 memang suatu
provokasi, bagaimana mungkin apa yang dimanakan Dewan Jenderal itu
menjadi dalangnya: terlalu aneh kalau orang mengorbankan diri sendiri
dengan tujuan politik! Apalagi telah ada cukup tanda bahwa Jenderal Yani
agak taat kepada Soekarno.
Pikiran
saya berubah sewaktu saya baca sekali lagi keterangan bekas Mayor
Rudhito dalam proses Untung. Ia memberi suatu keterangan tentang suatu
pita yang ia dengar, dan catatan tentang isinya yang ia terima pada
tanggal 26 September 1965 dimuka gedung Front Nasional tentang Dewan
Jenderal. Ia terima bukti itu dari empat orang, yaitu: Muchlis
Bratanata, dan Nawawi Nasution, dua-dua dari N.U. dan Sumantri
Singamenggala dan Agus Herman Simatoepang, dua-dua dari IPKI. Mereka itu
mengajak Rudhito akan membantu pelaksanaan rencana Dewan Jenderal. Di
tape itu dapat didengar pembicaraan dalam suatu pertemuan yang diadakan
pada tanggal 21 September di gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta.
Rudhito ingat bahwa ia dengar suara dari Jenderal Mayor S. Parman, satu
dari 6 jenderal yang lantas dibunuh pada tanggal 1 Oktober pagi .
Parman menyebut, menurut pita dan catatan yang Rudhito dengar dan baca,
suatu daftar orang yang harus diangkat sebagai menteri: di antara
mereka juga sejumlah jenderal yang lantas diserang dan diculik pada 1
Oktober. Nasution disebut sebagai calon perdana menteri; Suprapto akan
menjadi menteri dalam negeri, Yani diusulkan sebagai menteri HANKAM,
Harjono menteri luar negeri, Sutojo menteri kehakiman dan Parman
sendiri akan menjadi jaksa agung. Ada juga nama lain yang disebut,
diantaranya Jenderal Sukendro.
Rupanya tape itu tidak ditunjukkan sebagai bahan bukti pada sidang
Obrus
Untung; juga di sidang lain tidak muncul. Menurut Rudhito dan terdakwa
Untung tape itu juga diserahkan kepada Jenderal Supardjo, yang pada
tanggal 29 September baru tiba di Jakarta dari Kalimantan. Supardjo
rupanya terus memberikan dokumen itu pada Presiden Soekarno; dan
menurut Rudhito dukumen itu juga ada di tangan kejaksaan Agung dan
KOTRAR.
Kesimpulan
saya: kemungkinan besar bawha tape (yang tidak pernah muncul!) dan
teks itu yang diberikan pada Rudhito, suatu pelancungan, pemalsuan.
Maksudnya dan akibatnya: ialah sehingga grup Untung, pimpinan PKI dan
Presiden Soekarno DIYAKINKAN DAN PERCAYA, bahwa komplotan Dewan
Jenderal yang telah seringkali disebut sebagai kabar angin, sebenarnya
ADA dengan rencana untuk merebut kekuasaan dari Soekarno dan kabinetnya.
Dengan
tipu muslihat ini, yang sebenarnya suatu provokasi, baik Soekarno
maupun pimpinan PKI, termasuk Aidit, didorong supaya meneruskan
usahanya agar aksi Dewan Jenderal itu pada tanggal 5 Oktober 1965 dapat
dihalangi! Jadi sekarang timbul pertanyaan, golongan mana yang sebagai
dalang merencanakan seluruh provokasi itu, dengan mengorbankan jiwa
enam atau tujuh jenderal.
Untuk
saya, pada saat ini, sulit memberi jawaban. Saya sudah lanjut usia.
Saya harap dalam ruangan ini barangkali orang Indonesia dapat
meneruskan penyelidikan itu untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang
masih ada.
Tentu
gampang menyangka bahwa rencana itu tercipta dikalangan militer dan
bahwa Kamaruzzaman- Sjam telah memainkan suatu peranan yang berarti
dalam hal ini. Sangat mungkin juga, bahwa beberapa perwira agak tinggi
dari angkatan udara, seperti BARANGKALI Obrus Heru Atmodjo, dan sudah
tentu Mayor Sujono - yang sebagai saksi dan sebagai terdakwa seringkali
memberi keterangan yang tidak masuk akal dan saling bertentangan -
pastilah sangat aktip dalam merencanakan seluruh aksi. Sujonolah yang
memperkenalkan Untung dan Latief dengan Sjam dan dua pembantuanya, Pono
dan Bono.
Juga
ada kesaksian bahwa yang sebenarnya memberi perintah pada Gathut
Sukrisno untuk membunuh jenderal-jenderal dan kapten Tendean yang masih
hidup di Lubang Buaya, bukan Sjam melainkan Sujono. Begitu juga
pendapat Dr. Holtzappel yang telah menulis suatu nalisa penting tentang
peristiwa 1965 dalam "Journal of Contemporary Asia" pada tahun 1979.
Pembunuhan
yang sengaja itu juga tentu merupakan bagian dari seluruh provokasi
terhadap PKI. Menurut Holtzappel, sebagai DALANG dalam Angkatan
Bersenjata barangkali harus dianggap Jenderal Sukendro, pernah kepala
military intelligence, dan kolonel Supardjo, Sekretaris KOTRAR yang
pernah menjadi pembantu dari Sukendro. Presiden Soekarno agaknya sangat
benar dalam analisa pendeknya, waktu ia membela diri dimuka MPRS
dengan keterangan tertulis 'Nawaksara' pada tanggal 10 Januari 1967
terhadap tuduhan-tuduhan. Kesimpulannya ialah: "1) keblingernya pimpinan
PKI, 2) kelihaian subversi Nekolim, dan 3) memang adanya oknum-oknum
yang tidak benar". Arti istilah Nekolim pada masa itu ialah:
Neokolonialisme, kolonialisme dan imperialisme.
Tentu
maksudnya Soekarno bahwa ada dalang sebenarnya yang dari luar negeri.
Bagaimana dengan Amerika Serikat, dan CIA? Sudah dari awal tahun 50an
A.S. campur tangan dengan politik Indonesia. Telah mulai dengan Mutual
Security Act dari tahun 1952, yang dahulu ditandatangani oleh menteri
luar negeri Subardjo dari kabinet-Sukiman, dan yang lantas dibatalkan.
Juga ada campurtangan AS sewaktu pemberontakan Dewan Banteng dan
Permesta, dan sesudahnya waktu didirikan PRRI, dalam tahun 57-58. Peter
Dale Scott, yang dulu menjadi diplomat dan sekarang guru besar di
Universitas California, menulis beberapa karangan penting tentang
campurtangan A.S. dalam tahun 60an: dahulu karangannya diumumkan dalam
tahun 1975, dan lantas di "Pacific Affairs" tahun 1985: "The U.S. and
the Overthrow of Soekarno". (Ada terjemahan dalam bahasa Bel anda yang
diterbitkan oleh Indonesia Media).
Dalam
tahun 1990 ini seorang ahli sejarah yang saya tidak kenal namanya
Brands, menulis seolah-olah sejak permulaan tahun 65 U.S.A. sama sekali
tidak campur tangan lagi dalam politik Indonesia; beliau dengar ini
dari tokoh CIA - masa dapat dipercaya? Sekarang kita sudah tahu dengan
pasti bahwa dari awal Oktober 65 baik kedutaan A.S. maupun CIA sangat
campur tangan, misalnya dengan memberi daftar berisi nama 5000 tokoh
PKI dan organisasi kiri lain pada KOSTRAD - supaya mereka ditangkap;
diplomat dan staf CIA tidak perduli kalau korbannya juga akan dibunuh!
Tetapi bagaimana SEBELUM 1 Oktober? Ada suatu keterangan dari ahli
sejarah Amerika yang termasyur: Gabriel Kolko. Ia menulis dalam buku
yang diumumkan dalam tahun 1988 (yang judulnya "Confronting the Third:
U.S. Foreign Policy 1945-1980"), bahwa semua bahan dari ked utaan A.S.
di Jakarta dan dari State Department (yaitu kementerian Luar Negeri)
untuk tiga bulan SEBELUM 1 Oktober tahun 1965 sama sekali ditutup, dan
tidak boleh diselidiki oleh siapapun juga.
Dalam
suatu keterangan yang ia tambah dari tanggal 13 Agustus 1990 ia
mengatakan bahwa ia tidak kenal suatu masa manapun juga di kurun 1945
sampai 1968 yang ditutup dengan rahasia yang demikian untuk
menyembunyikan informasi yang sungguh penting. Hal itu sangat aneh, dan
menimbulkan persangkaan bahwa ada kejadian yang sangat rahasia yang
harus ditutupi. Moga-moga penyelidikan yang sekarang akan dijalankan
oleh Congress di Washington tentang daftar yang dibuat sesudah 1 Oktober
1965 oleh suatu tokoh dari kedutaan A.S. di Jakarta, tuan Martens,
akan memberi kesempatan untuk anggota Congress supaya menuntut
informasi tentang periode tiga bulan itu, dan supaya arsip itu akan
'de-classified' , jadi akan dibuka untuk diselidiki oleh ahli
sejarah dan dunia keilmuan umumnya. Kolko juga memberitahu bahwa
Jenderal Sukendro pada tanggal 5 November 1965 minta pertolongan yang
tersembunyi dari A.S. untuk menerima pesenjataan kecil dan alat
komunikasi yang akan dipakai oleh pemuda Islam (ANSOR) dan nasionalis
bagi menghantem PKI. Kedutaan A.S. setuju akan mengirim barang-barang
itu yang disembunyikan sebagai obat-obatan (Kolko, hal. 181), dan teks
kawat-kawat dari Kedutaan A.S . ke Washington dari 5/11, 7/11, ... dan
11/11-65.
Tetapi
kita harus insyaf bahwa selain dari CIA badan A.S. masih ada badan
intelijens negara lain yang 25 tahun yang silam mungkin berkepentingan
dalam menjatuhkan rezim Soekarno: misalnya Pemerintah Inggris, yang
pada masa itu masih terlibat dalam pertentangan antara Indonesia dan
negeri baru yang didirikan oleh Inggris: Malaysia. Dan lagi negara
Jepang mungkin juga harus diperhatikan sebagai calon dalang kejadian
itu. Heran bahwa pada tanggal 2 Oktober 1965 hanya ada SATU surat kabar
diluar negeri yang tahu siapa Jenderal Soeharto dan dapat mengumumkan
biografinya: Asahi Shimbun. Jepang lagi banyak mendapat manfaat dalam
kerjasama dengan Orde Baru. Mengapa masih penting untuk menyelidiki
sejarah peristiwa tahun 1965?
Saya
akan baca pendapat saya yang baru ini saya umumkan dalam pendahuluan
saya untuk buku kecil yang berisi sajak dari Magusig O. Bungai. Judul
kumpulan sajak itu ialah "Sansana Anak Naga dan Tahun-Tahun
Pembunuhan". Dalam sajaknya Hutan pun bukan lagi di mana rahasia bisa
berlindung, Magusig O. Bungai menulis tentang pembunuhan massal antas
perintah Stalin: 50 tahun berlalu 50 tahun hutan Katyn menutup rahasia
15.000 prajurit polan dimasakre di tengah rimba 50 tahun kemudian waktu
memaksa kekuasaan terkuat membuka suara menutur kebenaran. Menurut
saya penting sekali bahwa Magusig mendorong anak-anak negerinya agar
mencari kebenaran. Ahli sejarah Abdurahcman Suriomihardjo dalam
"Editor" 2 Juni 1990 menulis, bahwa "pembukaan dokumen yang semula
rahasia itu sangat membantu rekonstruksi sejarah". Akan tetapi duduknya
perkara masakre di Indonesia 25 tahun yang lalu agak berlainan dari
pembunuhan Katyn yang menimpa 15.000 orang perwira Polandia.
Kelainannya ialah oleh karena masakre di Indonesia itu pada hakikatnya
tidak ada rahasianya sama sekali. Pembunuhan massal di Indonesia atas
tanggung jawab Jenderal Soeharto bukanlah suatu rahasia.
Si
penanggungjawab ini justru terus-menerus bangga akan perbuatannya.
Terhadap masakre benar-besaran dalam tahun-tahun pembunuhan sesudah
1965, Soeharto tidak pernah memperlihatkan penyesalannya atas
pelanggaran hak azasi manusia yang luar biasa itu. Sebaliknya, ia selalu
memamerkan dengan bangga tindakannya yang durjana itu. Tentang ini
telah terbukti sekali lagi baru-baru ini.
Dengan
adanya pengakuan pers Amerika Serikat, bahwa staf kedubes Amerika
Serikat di Jakarta menyerahkan daftar nama-nama kader PKI dan ormas
yang dekat dengannya kepada Angkatan Darat Indonesia agar mereka itu
ditangkap dan dibunuh, tidak seorangpun juru bicara pemerintah Orde Baru
yang memungkiri telah terjadinya pembantaian massal, ataupun
mengucapkan penyesalan mereka terhadap peristiwa yang terjadi 25 tahun
yang lalu itu.
Mereka
ini cukup berpuas diri dengan penegasan pengakuan: bahwa militer
Indonesia sama sekali tidak perlu menerima daftar tersebut dari pihak
asing, oleh karena mereka sendiri cukup mengetahui siapa-siapa
kader-kader PKI! Juga di dalam otobiografinya, Soeharto sama sekali
tidak menunjukkan tanda, bahwa ia menyesali terhadap jatuhnya korban
rakyat sebanyak setengah atau satu juta.
Justru
sebaliknyalah, terhadap prajurit-prajurit pembunuh pun ia tidak
mencela perbuatan mereka. Misalnya dalam hal kolonel Jasir Hadibroto,
dalam "Kompas Minggu", 5 Oktober 1980 ia menceritakan pengakuannya
kepada Soeharto, yaitu bahwa ia telah membunuh ketua PKI DN Aidit tanpa
keputusan pengadilan. Dengan jalan demikian Aidit tidak bisa membela
diri di depan sidang pengadilan, dan karenanya pula penguasa dengan
leluasa dapat menyiar- kan 'pengakuan' Aidit yang palsu. Kolonel ini
justru dihadiahi Soeharto dengan kedudukan sebagai gubernur Lampung.
Dalam hal ini tentu saja Soeharto sendirilah yang bertanggung- jawab.
Karena pembunuhan itu hanya terjadi sesudah Jasir Hadibroto menerima
perintah dari Soeharto yang, menurut Jasir, mengatakan: "Bereskan itu
semua!".
Masih
cukup banyak hal yang harus dibukakan di depan mata seluruh rakyat
Indonesia. Sejarah peristiwa 1965 dan lanjutannya, seperti yang tertera
didalam tulisan resmi para pendukung Orde Baru, seluruhnya harus
ditinjau kembali dan dikoreksi. Misalnya tentang pembunuhan terhadap
para anggota PKI atau BTI (Barisan Tani Indonesia) yang selalu
dibenarkan dengan dalih, seakan- akan mereka dibunuh karena "terlibat
dalam Gestapu/PKI 1965". Barangkali benar, ada beberapa kader PKI yang
telah ikut memainkan peranan dalam peristiwa 1 Oktober 1965 itu. Tetapi
bisakah ratusan ribu kaum tani di Jawa dituduh terlibat dalam peristiwa
penyerangan terhadap 7 orang jenderal pada pagi-pagi buta 1 Oktober
1965 saat itu di Jakarta? Dari berita "The Washington Post" 21 Mei 1990
menjadi jelas, bahwa sejak semula Soeharto telah berketetapan hati
untuk menghancur-leburkan PKI.
Dalih
umum yang dikemukakan oleh Mahmilub atau pengadilan semacamnya adalah
bahwa semua anggota atau simpatisan PKI ' terlibat dalam peristiwa
G30S-PKI '. Dalih demikian pulalah yang dipakai pemerintah untuk
membenarkan pembuangan tanpa pemeriksaan pengadilan lebih dari 10.000
orang yang dipandang sebagai simpatisan gerakan kiri ke Pulau Buru,
yang pada umumnya selama 10 tahun lebih.
Mereka
itu dianggap sebagai 'terlibat secara tidak langsung
dalam Gestapu/PKI' . Lalu, siapakah yang terlibat langsung? Yang
betul-betul terlibat LANGSUNG adalah seorang yang paling memperoleh
untung dari kejadian itu, tak lain tak bukan ialah Jenderal Soeharto
sendiri. Semua bahan-bahan itu tentu sangat penting untuk meninjau
kembali sejarah peristiwa 1 Oktober 1965. Ada beberapa hal lagi yang
perlu diterangkan.
Di
tengah-tengah terjadinya pembantaian massal terhadap orang-orang yang
dianggap PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sejumlah kader PKI yang
berhasil terluput dari malapetaka berhasil mendapatkan tempat berlindung
di daerah pegunungan di Kabupaten Blitar Selatan. Di sini mereka hidup
bersatu dengan kaum tani miskin setempat, sehingga untuk sementara
mereka berhasil membangun lubang perlindungan untuk menyelamatkan jiwa
mereka. Akan tetapi pada 1968 tentara dengan operasi Trisula
menghancurkan tempat perlindungan ini, dan menangkap serta membunuh
sebagian besar mereka itu.
Dalam tahun 70an 'tokoh-tokoh Blitar Selatan' ini dihadapkan ke muka pengadilan.
Di pengadilan umumnya mereka tidak dituduh ' terlibat persitiwa G30S/PKI '.
Jelas,
bahwa pengadilan tidak bisa membuktikan 'keterlibatan' demikian. Maka
merekapun lalu dituduh sebagai 'subversi', yang sejak 1963 juga bisa
mengakibatkan jatuhnya hukuman mati bagi siterdakwa. Ini berarti, bahwa
pada hakikatnya mereka dituduh subversi untuk kebanyakan dijatuhi
hukuman mati, semata-mata karena mereka berusaha menyelamatkan diri dari
pembunuhan massal yang sama sekali haram itu. Rencana pembunuhan
massal ini ternyata akhirnya terbukti jelas oleh siaran
pengakuan-pengakuan di dalam pers Amerika Serikat tersebut di atas.
Tokoh-tokoh
seperti Munir, Gatot Lestaryo, Rustomo dan Djoko Untung tewas
dieksekusi dalam tahun 1985. Tapi pada saat inipun masih ada empat
tokoh lagi, yang semuanya berasal dari peristiwa Blitar Selatan itu,
yang diancam oleh pelaksanaan eksekusi. Penting sekali bagi dunia luar
agar berusaha dengan segala daya untuk menyelamatkan jiwa Ruslan
Wijayasastra, Asep Suryaman, Iskandar Subekti dan Sukatno - dan lebih
dari itu untuk menyelamatkan jalannya kebenaran sejarah. Untuk ini
penelitian kembali sejarah tahun-tahun 1965 dan seterusnya merupakan
sarana dan wahana pertolongan satu-satunya. Ada sebuah kewajiban lagi
yang penting, yaitu meneliti kembali duduk perkara Gerwani di dalam
peristiwa 1 Oktober 1965.
Dari
semula penguasa menuduh gadis-gadis Gerwani di Lubang Buaya berbuat
paling keji dan tak tahu malu. Melalui media pers bertahun-tahun
disiarkan, seolah-olah mereka dihadirkan di sana oleh PKI untuk
melakukan upacara 'harum bunga' sambil menari-nari lenso untuk mengantar
jiwa jenderal- jenderal itu, melakukan perbuatan-perbuatan tak
senonoh, dibagi-bagikan pisau silet, dan lantas ikut ambil bagian dalam
perbuat jahat serta menyiksa jenderal- jenderal itu sebelum mereka
tewas. Sebagai akibat dari cerita-cerita demikian terbentuklah
bayangan, seakan-akan Gerwani adalah perkumpulan perempuan lacur, jahat
dan bengis yang harus dihinakan dan bahkan dibinasakan.
Cerita-cerita
demikian sebenarnya tidak terbukti. Tidak pernah ada suatu proses, di
mana dakwaan demikian bisa dibenarkan. Seorang saksi dalam sidang yang,
menurut Sudisman 'terbuka tapi tertutup' dan 'serba umum tapi tidak
umum', bernama Jamilah dan yang mereka gunakan sebagai dasar bangunan
dongengan itu, adalah soerang perempuan bayaran belaka.
Beberapa
tahun yang lalu Profesor Benedict Anderson, di dalam majalan ilmiah
"Indonesia", memuat keterangan resmi dari lima dokter yang memeriksa
mayat-mayat para jenderal itu sesudah diangkat dari Lubang Buaya. Jauh
sebelum itu, keterangan resmi para dokter ini pun telah diumumkan oleh
Soekarno di depan sidang kabinet, sengaja untuk membantah dongengan
yang beredar saat itu, yang antara lain mengatakan bahwa mata para
jenderal itu telah dicungkil dan bahwa kemaluan mereka dipotong-potong
sebelum ditembak mati. Keterangan dokter-dokter resmi itu ringkasnya
mengatakan, bahwa tiddak ada tanda penyiksaan pada korban, dan tidak
sebiji matapun dicungkil sebelum mereka dibunuh. Penting sekali
membersihkan Gerwani dari tuduhan yang tidak adil itu.
Terutama
sangat perlu, oleh karena sebelum 1965 Gerwani sangat aktif dalam
membela dan memperjuangkan hak-hak perempuan. Seperti diketahui, sejak
Orde Baru berkuasa semua perjuangan untuk kepentingan perempuan melalui
pergerakan yang bebas dan mandiri, dianggap oleh penguasa sebagai
kegiatan yang harus diharamkan dengan mengingat kepada 'perbuatan
Gerwani' dalam akhir taun 1965 itu. Ada satu tuduhan lagi yang harus
dibantah. Dari sejak awal telah disiarkan cerita, bahwa seolah-olah di
rumah-rumah orang PKI terdapat (kecuali cungkil mata dan kursi listrik)
daftar nama-nama orang yang memusuhi komunisme, dan yang harus
dibinasakan sesudah PKI beroleh kemenangan dengan gerakannya di akhir
1965 itu.
Tidak
selembar daftar seperti itu bisa dipertunjukkan di pengadilan manapun.
Sekaranglah, sesudah adanya pengakuan pers Amerika Serikat itu, kita
ketahui bahwa sesungguhnya daftar orang-orang yuang harus dibinasakan
itu memang ada. Tetapi, inilah bedanya, daftar yang ada justru bukan
daftar bikinan komunis, melainkan daftar yang diberikan oleh Kedubes
Amerika Serikat kepada Soeharto yang memuat ribuan nama komunis
Indonesia yang harus dibunuh! Dongeng ini seperti dongeng tentang
maling yang teriak "Tangkap Maling!"
Penting
sekali kesadaran dibangun kembali: Bahwa sebelum 1965 PKI merupakan
kekuatan yang patut dibanggakan, oleh karena banyak hal yang telah
berhasil dicapai oleh partai dan gerakannya itu. Di dunia Barat
sekarang timbul kecenderungan anggapan, bahwa komunisme, dan bahkan
sosialisme, telah gagal sebagai ideologi.
Kesimpulan
seperti ini salah sama sekali! Yang gagal adalah SEJUMLAH PEMERINTAH
yang dikuasai oleh berbagai partai komunis. Yang terbukti gagal adalah,
bahwa sistem diktatorial tanpa cukup peranan dari rakyat bawah tidak
bisa bertahan dalam jangka panjang. Jadi, untuk Indonesia, kegagalan
seperti itu hanya bisa berlaku bagi rezim Soeharto. Rezim Soeharto pada
hakikatnya juga merupakan suatu sistem diktatorial, dengan berbedak
demokrasi yang semu belaka.
Tetapi
sebaliknya, baik ideologi maupun praktek, komunis di Indonesia sama
sekali tidak mengalami kegagalan. Ia hanya ditimpa oleh malapetaka dan
penindasan secara perkosa, yang ditolong oleh kekuatan anti komunis
luar negeri. Tentu saja ada sementara tokoh komunis yang, dalam
menghadapi keadaan baru dan sangat sulit pada tahun-tahun 60an,
melakukan kesalahan penting. Dalam hal ini tentu saja sangat perlu
adanya otokritik yang mendalam. Tetapi cukup alasan bagi setiap penganut
ideologi kiri untuk mencamkan kata-kata penulis kumpulan puisi itu,
yaitu agar 'mulai menghargai harkat diri' dan memulihkan perasaan bangga
diri.
Post a Comment