Namanya Yohana, warga keturunan Tionghoa. Ia adalah teman sekelasku  waktu duduk di bangku SMP dulu. Orangnya ramah dan banyak disukai  teman-teman yang lain. Pergaulannya tidak membeda-bedakan sesama,  walaupun dia warga keturunan yang katanya eksklusif. Tidak seperti  kebanyakan warga keturunan yang hidupnya mengisolasi diri dari  lingkungan sekitarnya. Tidak mau bercampur dengan warga pribumi yang  hidup di sekitarnya.
Seolah-oleh Yohana memberi contoh kepada warga keturunan yang lain,  bahwa tak ada perbedaan yang harus dipertahankan selama pergaulan itu  saling menguntungkan kedua belah pihak. Kendati dia berbeda keyakinan  dengan warga lainnya, namun dia rutin tiap Idul Fitri berkeliling  besilaturahmi dengan warga Muslim yang dia kenal. Banyak masyarakat  memuji pergaulannya dengan sesama manusia. Dan terbukti ketika terjadi  tragedi Mei 98, seluruh keluarganya selamat, bahkan dilindungi dari  tindak kekerasan.
Pertemuan dengan teman sekelasku itu memang tidak sengaja aku  lakukan. Ketika itu, selepas maghrib aku berniat melaminating dan  memfoto copy dokumen pembelian tanah dan rumah agar tidak cepat rusak  dimakan rayap. Kupacu sepeda motorku di sepanjang jalan H. Kertadibrata  yang ramai oleh becak dan motor lain yang hilir mudik.
Tepat di bawah Flay Over aku berpapasan dengan sedan mewah berwarna  merah yang datang dari arah Barat, dari Jakarta. Lalu sedan tesebut  berbelok ke kanan, searah dengan laju motorku. Kubiarkan sedan mewah itu  melaju di depanku, kemudian belok kanan ke jalan Veteran. Aku pun belok  kanan, karena toko yang dituju berada di jalan tersebut. Lalu beberapa  puluh meter kemudian sedan merah itu berhenti, persis di depan toko yang  aku tuju. Kupikir motorku di samping sedan merah itu saja, lalu dari  sedan merah itu keluar dua orang laki-laki dan perempuan setengah baya,  seumur denganku.
Rasanya aku mengenali perempuan itu. “Bukankah itu Yohana…? Pikirku.  Kemudian aku menghampirinya, dan menyapanya sekedar untuk memastikan.
“Ini Yohana…?” Tanyaku.
Sejenak ia menatap wajaku, menerka-nerka.
“Siapa ya…?” Tanyanya balik bertanya.
“Temanmu waktu SMP dulu…” sahutku.
“Ohh… Ujang ya…?” Ujarnya.
Itulah pertemuan yang tidak sengaja dengan teman sekolahku. Ternyata  toko yang dijadikan langganan photo copy olehku itu adalah salah satu  miliknya. Malam itu dengan ditemani suaminya kami meluangkan waktu  berbincang-bincang panjang lebar di ruang belakang tokonya.
Yohana sudah menjadi seorang pengusaha sukses. Tokonya bertebaran se  Jawa Barat dan Jakarta. Menyediakan alat-alat perkantoran selain photo  copy. Sifatnya yang ramah sejak masa sekolah tidak berubah hingga  sekarang. Begitu pun kepada karyawan-karyawati sikap mentang-mentang  orang kaya ia buang jauh-jauh. Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah  sifat itu yang diterapkan sehari-hari. Begitu pula suaminya, namanya  Gunawan orang Singkawang ramahnya tidak kepalang tanggung menyambutku  pada malam itu.
Aku tahu kehidupan Yohana sebelum sukses seperti ini. Orang tuanya  hanyalah pedagang telor asin buatan sendiri yang dijajakan keliling  kampung oleh ibunya. Rumahnya pun berdiri di pinggiran kampung Pacinan,  tepatnya di pinggiran kali. Aku tahu keadaan keluarganya, karena hampir  tiap hari berangkat dan pulang sekolah aku lewat di samping rumahnya.
Waktu ia menikah dengan Gunawan, aku memenuhi undangannya menghadiri.  Selain dirayakan sangat sederhana juga sangat memprihatinkan. Ya,  ketika itu musim hujan, sungai meluap merendam rumahnya setinggi lutut.  Lalu terpaksa resepsinya dipindahkan ke rumah tetangganya, yang tidak  kebanjiran. Dan setelah pernikahan tersebut aku lama sekali tidak  melihat dia, mungkin dua puluh tahun lebih. Dan baru sekarang bertemu  lagi sudah sama-sama tuanya.
Permulaannya aku hanya sekedar bertanya kiat manajemen kesuksesan  usahanya itu, akan tetapi Yohana membeberkan sangat jauh mengungkap  rahasia kesuksesannya itu.
“Selain harus tahu peluang, sabar dan transparan harus didukung pula  oleh hal-hal yang tidak kamu dapatkan di bangku sekolah, yaitu gaib,”  ujar Yohana.
“Maksudmu Ana…?” Tanyaku tidak paham apa yang terakhir diucapkannya.
“Ya… ditunjang oleh sesuatu yang tak kasat mata, kami berdua  menyadari sebesar apapun saham kita tanamkan akan habis yang tinggal  hanyalah utang-utang tanpa dilindungi oleh hal-hal gaib,” ujar Yohana.
“Maksudmu pesugihan?” Sahutku.
“Ya  semacam itulah…. Kamu ingat tidak berapa tahun yang lalu mamahku punya  langganan air didorong namanya mang Kosim, yang kaki sebelah kirinya  bengkok..?” Tanya Yohana.
Aku merenung mengingat-ingat masa lalu waktu sama-sama duduk di bangku SMP.
“Ingat.. ingat, yang tidurnya di belakang sekolah,” sahutku.
“Betul… Beliau merupakan sosok pahlawan bagi keluarga besar kami, dia  mengembara hampir seputar Indonesia dan akhirnya menetap sampai di  sini. Beliau dari Jawa TImur asalnya,” papar Yohana.
Selanjutnya Yohana menerangkan, bahwa antara dirinya dengan Mang  Kosim mengadakan perjanjian tak tertulis tidak ada saksi, hanya mereka  yang tahu. Isi perjanjian itu adalah. “Seluruh kebutuhan hari tua Mang  Kosim akan dipenuhi oleh keluarga Yohana termasuk tempat tinggal, bila  benda berupa batu hitam sebesar kepalan tangan mirip buah jeruk  mengkerut itu memang ada khasiatnya untuk mendongkrak bisnis Yohana  ketika itu.”
Dan untuk membuktikan bahwa batu itu bukan batu sembarangan, beliau mengadakan ritual dengan disaksikan Yohana dengan suaminya.
Tidak memerlukan persyaratan yang rumit, ya hanya sebatang hio yang  dibakar prosesi ritualpun dilakukan. Awalnya Yohana tidak percaya bahwa  hanya sebuah benda dihuni hal-hal yang mustahil ada, seperti  makhluk-makhluk yang tak kasat mata bisa masuk ke dalam benda padat.  Kedua suami istri dalam diliputi ketegangan saat Mang Kosim merapalkan  mantra-mantra dalam bahasa Jawa yang tidak mereka pahami apa artinya.  Selang beberapa menit kemudian dari batu mengkerut yang diletakkan di  atas mangkok itu keluar asap putih membumbung setinggi dua meter. Lalu  perlahan namun pasti membentuk siluet postur tubuh manusia, dan akhirnya  tampak sosok perempuan cantik berambut panjang telah berdiri di hadapan  mereka.
“Ada apa kisanak tiba-tiba memanggil aku?” Tanya wanita itu dengan suara yang lembut.
“Maaf sebelumnya Nyai, hamba telah lancang memanggil Nyai, maksudnya  tiada ingin mengenalkan majikan hamba dan sekaligus pengurus Nyai dengan  imbalan kemakmuran hidup dan usahanya,” papar mang Kosim sambil  menunjuk dengan ibu jari ke arah Yohana dan suaminya. Yohana tertunduk  dengan jantung yang tak beraturan detaknya, begitu pula suaminya.
“Aku tidak keberatan asal sanggup memenuhi kebutuhanku setiap  tahunnya,” ujar sosok wanita jelmaan dari batu mengkerut itu dan  selanjutnya Yohana lebih banyak menyebutnya ‘Batu peot’.
“Kebutuhan apa yang Nyai minta, bukankah Nyai tidak meminta apapun kepadaku?” Tanya Mang Kosim heran.
“Itu karena kamu pun tidak meminta apapun kepadaku,” sahutnya.
Memang selama batu peot itu berada di tangannya, Mang Kosim tidak  minta harta duniawi atau yang berhubungan dengan kemakmuran dunia. Dia  tulus memelihara dan memulasara keberadaan batu peot itu semenjak mang  Kosim dapatkan hasil bertapa di kaki gunung Karang beberapa tahun yang  silam.
“Sekarang katakan apa yang Nyai minta sebagai syaratnya?” Tanya Mang Kosim penasaran.
“Aku minta tiap tahunnya dua kodi kain batik, lalu bagikan kepada  yang berhak, fakir miskin,” pinta makhluk gaib penghuni batu peot itu.
Semenjak malam itulah batu peot berpindah tangan ke tangan keluarga  Yohana. Dan hidup Mang Kosim dijamin oleh Yohana, lalu dibelikan sebuah  rumah yang tidak jauh dengan rumah kedua orang tuanya di kampung  Pacinan.
Memang sangat terasa khasiat dari batu peot itu, bisa mendongkrak  pesat bisnisnya yang sedang dilakukan bersama suaminya. Semula hanya  satu toko di jalan Veteran itu yang ia miliki, lalu seiring waktu  berjalan melakukan ekspansi ke luar kota. Dan menurut pengakuannya  sekarang sudah seratus lebih toko alat-alat kantor dan photo copy  menyebar di Jawa Barat dan Jakarta. Ia berencana tahun ini akan membuka  lagi beberapa tokonya di Jawa Tengah dan TImur.
Dan yang membuat aku terperangah dengan kebaikannya itu, yakni  sekarang sudah ratusan kodi kain batik tiap tahunnya yang Yohana  bagi-bagikan kepada fakir miskin. Dan tidak melupakan mendiang Mang  Kosim yang sudah membuka jalan kemakmuran hidup keluarganya. Tiap tahun  ia ziarah ke makamnya dengan didampingi seorang ustadz untuk berdoa  secara Islam.
Sekembalinya ke rumah aku merenungkan dan mendoakan temanku itu agar  jangan sampai keluar dari jalur agama yang dianutnya. Menyembah benda  yang dijadikan pegangan jalan hidupnya, semoga…
Sumber : Majalah Misteri. Dimuat di Majalah Misteri edisi 534


Post a Comment