Kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan! Pepatah ini  kiranya cukup pas untuk menggambarkan betapa kerasnya perjuangan Retno  Kumala (46), si pemilik kisah Catatan Hitam kali ini. Demi masa depan  kedua anaknya, ia nekad memilih jalan hidup yang mungkin sangat sulit  dijelaskan dengan nalar. Ia rela kawin dengan genderuwo. Ini ia lakukan  bukan semata-mata karena ia mendambakan hidup bahagia dengan limpahan  harta dari suaminya yang berasal dari dunia gaib tersebut. Namun, sekali  lagi, ia melakukannya demi masa depan  kedua anaknya yang telah lama  ditinggal pergi oleh ayahnya.
Tapi, bagaimana kenyataan selanjutnya yang harus ia hadapi? Kepada  Pengasuh rubrik kesayangan ini Retno Kumala mengisahkan Catatan Hitam  hidupnya itu secara lengkap. Selamat mengikuti…!
Kehidupan rumah tanggaku pada awalnya sangat bahagia. Suamiku,  Warijo, seorang pria yang sangat bertanggungjawab. Ia juga ayah yang  baik dan sangat menyayangi ketiga anaknya.
Suatu saat kami harus pindah dari Surabaya ke Palembang. Maklum saja,   ketika itu Mas Warijo dimutasi ke kantor cabang perusahaan tempatnya  bekerja dengan posisi dan jabatan, juga gaji yang tentu saja jauh lebih  baik. Semula kami berharap akan mendapatkan kehidupan yang lebih bahagia  lagi di tempat baru ini, namun justeru di Kota Empek Empek inilah  kepahitan itu berawal.
Ya, tragedi itu bermula dari vonis kanker otak terhadap anak ketiga  kami Bambang Prihandoko, yang ketika itu baru berumur 3,5 tahun.  Kenyataan ini sungguh memukul batinku, juga batin suamiku. Sejak si  bungsu divonis mengidap kanker otak, kulihat Mas Warijo sering melamun  seorang diri. Memang, dibanding kedua anaknya yang lain, Mas Warijo jauh  lebih menyayangi si bungsu, sebab sejak bayi merah anak ini memang  sering sakit-sakitan sehingga membutuhkan perhatian ekstra dari kami.  Mungkin karena itulah tumbuh kasih sayang yang sangat besar dari kami  berdua, terutama Mas Warijo yang pernah menyebut Bambang sebagai “anak  yang akan memiliki banyak keajaiban,” sebab ketika aku mengandungnya Mas  Warijo mengaku sering bermimpi ditemui seorang kakek bersorban putih  mirip sosok wali, yang menitipkan anak padanya. Namun, mimpi hanyalah  mimpi. Kenyataan tetap berbicara lain.
Meski biaya pengobatan si kecil ditanggung oleh Asuransi Kesehatan  (ASKES) dari perusahaan tempat Mas Warijo bekerja, namun karena penyakit  yang diderita oleh Bambang relatif langka dan sulit disembuhkan, maka  usaha kami membawanya berobat ke berbagai rumah sakit ternama di Kota  Palembang sepertinya hanya sia-sia saja. Bila sedang kumat si kecil  Bambang sering jatuh pingsan, dan kami tidak bisa berbuat apa-apa,  kecuali hanya membawanya ke rumah sakit untuk sekedar mendapatkan  penangangan gawat darurat.
Kami hampir putus asa menghadapi keadaan si bungsu. Puncaknya, pada  musim libur hari raya Idul Fitri di tahun 2005 silam, kami sekeluarga  memutuskan mudik ke kampung halamanku di Wonogiri, Jawa Timur. Disamping  ingin berlebaran bersama keluarga, rencananya kesempatan ini juga akan  kami gunakan untuk mencari cara alternatif guna mengobati penyakit  Bambang.
Manusia hanya bisa berencana, sedang Tuhan juga yang menentukan.  Itulah yang terjadi. Seminggu setelah tinggal di rumah orang tuaku untuk  menikmati liburan, dan sebelum sempat kami membawa Bambang berobat  secara alternatif, ternyata Tuhan telah memanggilnya lebih dulu. Bambang  menghembuskan nafas terakhirnya dalam gendongan ayahnya.
Kepahitan ini terjadi hanya 3 hari setelah hari raya Idul Fitri.  Betapa berdukanya kami sekeluarga karena kepergian Bambang jatuh pada  hari yang semestinya penuh dengan kabahagiaan. Apalagi malam harinya  Bambang masih sehat dan bermain-main dengan kami. Baru menjelang subuh  ia pingsan setelah lebih dulu kejang karena menahan sakit pada  kepalanya, sampai akhirnya ia tak kuat lagi melawan rasa sakit itu.
Kepergian si bungsu sungguh merupakan kehilangan yang teramat besar  bagi kami. Sebagai ibu yang merawatnya sejak masih dalam kandungan,  sudah barang tentu sulit bagiku untuk mengikhlaskan kepergiannya. Mas  Warijo pun sepertinya merasakan hal yang sama. Namun sebagai lelaki ia  sudah pasti jauh lebih kuat jika dibandingkan denganku. Buktinya, walau  masih dalam kedukaan, karena masa liburan yang sudah habis, maka itu  setelah selamatan tujuh hari kepergian Bambang, Mas Warijo kembali ke  Palembang untuk melakukan rutinitasnya sebagai seorang karyawan sebuah  perusahaan swasta. Sementara itu aku sendiri lebih memilih untuk tetap  tinggal di rumah orang tuaku. Demikian pula dengan kedua anakku yang  ketika itu baru duduk di kelas satu dan dua SMP. Mereka tetap tinggal di  Wonogiri, bahkan karena kedekatan dengan kakek dan neneknya kedua  anakku ini memilih pindah sekolah.
Sejak kepergian si bungsu, hari-hari yang kulalui terasa sangat  hampa. Berat pula bagiku untuk kembali ke Palembang mengingat kedua  putra dan putriku juga enggan untuk menyusul ayahnya pulang ke sana.  Kerana keadaan ini pada akhirnya aku pun lebih memilih tinggal di  Wonogiri. Suamiku cukup mengerti dengan pilihanku ini. Ia tahu pasti  kalau kondisi jiwaku masih sangat labil.
Lima bulan berlalu sejak kematian si bungsu, Mas Warijo masih rutin  mengirimi kami uang untuk biaya hidup setiap bulannya. Di bulan ke 6  sesuatu yang tak pernah kuduga sebelumnya terjadilah. Kiriman uang dari  Mas Warijo tak kunjung tiba sesuai jadwal biasanya. Mendapati kenyataan  ini, kucoba menghungunginya lewat ponsel miliknya, tapi ternyata  mailboks. Ketika kukontak lewat telepon kantor, pihak resepsionis malah  mengatakan kalau Mas Warijo sudah mengundurkan diri sejak sebulan lalu.
Berita ini benar-benar membuatku pusing tujuh keliling. Mengapa Mas  Warijo mengundurkan diri dari pekerjaan dengan tanpa terlebih dahulu  meminta pendapatku, atau setidaknya memberitahuku? Apa yang telah  terjadi dengannya? Mengapa ia begitu berani mengambil keputusan yang  sedemikian gegabah? Apakah ia sudah mendapatkan pekerjaan lain yang jauh  lebih menjanjikan?
Setumpuk pertanyaan itu tak pernah kudapatkan jawabannya, sebab sejak  kuterima berita itu Mas Warijo seolah telah menghilang dari jagat raya  ini. Tak pernah secuilpun kudengar kabar tentang dirinya. Berulang kali  kuhubungi nomor ponselnya, namun yang kudengar hanya suara operator yang  mengatakan bahwa nomor tersebut tak dapat dihubungi.
Betapa kecewa hatiku, sebab Mas Warijo pun sama sekali tak pernah mengontakku walau hanya sekejap saja.
Kemana perginya Mas Warijo? Tak ada seorang pun yang bisa  menjawabnya. Ia telah pergi tanpa pesan. Meninggalkanku dengan dua orang  anak yang masih membutuhkan biaya hidup yang sangat besar, terutama   untuk pendidikannya.
Di tengah keputusasaan aku bertemu dengan sahabatku semasa SMA dulu.  Sebut saja namanya Yulianah. Waktu itu aku sangat surpraise melihat  keadaan Yulianah yang sepertinya sudah jadi orang sukses. Ia bisa nyetir  sendiri mobilnya yang bagus dan sangat mewah menurutku. Tak hanya itu,  ia juga sudah menyandang gelar sebagai seorang Hajjah, dan ia nampak  cantik sekali dengan balutan busana muslimah.
Bagaimana ceritanya sampai kehidupan Yulianah bisa berubah dengan  sedemikian drastis? Padahal, aku tahu persis bagaimana asal-usul  sahabatku ini. Ia lahir dari keluarga petani yang sangat miskin. Bahkan  sewaktu sekolah dulu ia sering menunggak SPP, dan kalau jajan di kantin  sering kali aku yang mentraktirnya.
Melihat Yulianah yang sudah hidup senang, terus terang saja aku  merasa sangat iri padanya. Sahabatku ini seolah-olah bisa membaca  perasaanku. Buktinya, seminggu setelah bertemu dengannya, ia  mengundangku datang ke rumahnya.
Ketika aku sampai di rumahnya, kekagumanku padanya semakin besar  saja. Bagaimana tidak? Kulihat rumah Yulianah yang megah dan cukup mewah  menurut ukuranku.
“Kemana suamimu, Yul?” tanyaku ketika itu saat melihat suasana rumah yang sepi.
Yuliana tersenyum  sambil menyuguhkan cemilan di hadapanku. “Aku sudah 5 tahun menjanda, Ret!” katanya.
Mendengar jawabannya, aku merasa sedikit tak enak hati. Namun,  Yulianah sepertinya tidak merisaukan pertanyaanku barusan. Nyatanya ia  segera menyambung penjelasannya.
“Suamiku selingkuh, jadi kupikir mending bercerai saja. Lagi pula,  sekarang ini keadaanku sudah cukup mapan. Karena itu meski mantan  suamiku sering meminta ingin kembali, tapi dengan tegas selalu kutolak.  Apalagi kedua anakku juga sudah besar. Mereka tidak pernah menanyakan  Bapaknya. Ya, beginilah kehidupanku, dan aku merasa cukup bahagia meski  tanpa suami. Oya, bagaimana keadaanmu rumah tanggamu, Retno?”
Karena ditodong pertanyaan seperti itu, akhirnya tanpa tedeng  aling-aling kuceritakan bagaimana porak-porandanya keluargaku. Sebagai  sahabat, sepertinya Yulianah sangat tersentuh mendengar ceritaku.
Ia berkata setelah menyimak ceritaku, “Aku ini tetap sahabatmu,  Retno. Karena itu aku juga ingin melihat hidupmu bahagia. Masalahnya,  apakah kau mau melakukan solusi yang akan kuberikan, dan apakah kau akan  mempercayainya?”
“Seperti apa solusi yang kau tawarkan itu, Yul?” aku balik bertanya.
“Kau harus kawin dengan genderuwo!”
Betapa terkejutnya aku mendengar jawaban dari mulut mungil sahabatku  ini. Bagaimana mungkin Yulianah yang sudah menyandang titel sebagai  seorang Hajjah itu sampai tega hati menawarkan solusi sesat itu padaku?
Seolah bisa membaca keterkejutanku, Yulianah buru-buru menyambung  ucapannya sambil tersenyum, “Kau jangan buru-buru berpikiran negatif!  Kau pasti menyangka ini semacam pesugihan bukan? Sama sekali tidak,  Retno! Menurutku ini halal. Kau akan dinikahkan dengan makhluk itu  secara Islam. Selama kau menjadi isterinya, genderuwo itu akan  menafkahimu secara lahir dan batin. Bila kau sudah merasa punya cukup  modal, kau bisa bercerai dengannya. Dan yang paling penting, ritual ini  tidak ada tumbal macam-macam. Asal kau tahu saja, aku bisa seperti ini  juga kerana melakukan ritual itu. Setahun lalu aku minta cerai sebab aku  sudah merasa punya cukup modal untuk berusaha sendiri. Genderuwo itu  bersedia menceraikanku, dan sekarang hidupku tenang sebab aku juga bisa  menjalankan ibadah.”
Setelah mendengar penjelasan Yulianah seperti itu, akupun mulai  tertarik untuk mengikuti jejaknya. Terlebih lagi kehidupan saat itu  memang sangat susah. Bapakku yang selama ini menjadi tulang punggung  keluarga sudah berhenti bekerja\ karena penyakit diabetes yang  merongrong tubuhnya. Belum lagi aku juga harus memikirkan biaya sekolah  dan masa depan kedua anakku. Walau bagaimana pun mereka harus terus  sekolah dan kuliah sampai ke perguruan tinggi.
Dengan kedua alasan tersebut akhirnya aku meminta Yulianah untuk  mengantarkanku ke rumah “orang pintar” yang katanya sudah biasa memandu  ritual kawin dengan genderuwo itu.
Singkat cerita, Yulianah mempertemukanku dengan Ki Badrowi, sebetulah  begitu, paranormal yang biasa mengawinkan manusia dengan genderuwo.  Setelah mendengarkan penjelasan tentang keinginanku yang disampaikan  oleh Yulianah, Ki Badrowi mengaku bersedia membantu. Namun aku diminta  untuk mempersiapkan semua kelengkapannya, seperti Apel Jin dan berbagai  sarana lain untuk selamatan ritual perkawinan itu nantinya. Yulianah  bersedia membantuku menyaiaokan semua keperluan ini.
Benar juga kata Yulianah. Ritual perkawinan itu memang seperti halnya  prosesi perkawinan dalam aturan hukum Islam. Artinya, ada saksi,  penghulu, wali, pengantin, dan juga ijab kabul, bahkan juga mas kawin  berupa cincin emas seberat 1 gram. Untuk wali langsung diwakilkan kepada  Ki Badrowi, sebab ayahku memang tidak mungkin bisa dihadirkan. Jadi,  dalam prosesi pernikahan itu Ki Badrowi bertindak sebagai wali sekaligus  penghulunya.
Karena mempelai lelaki tak bisa dilihat oleh mataku, maka proses ijab  kabul pun sangat janggal menurutku. Sama sekali tidak ada ucapan akad  nikah, meski kemudian wali dan saksi langsung mengesahkannya.
Yang juga terasa aneh, setelah prosesi pernikahan selesai, Yulianah  berbisik di telingaku, “Suamimu itu tampan sekali, Retno. Kau beruntung  mendapatkannya!”
Tampan? Bagaimana mungkin Yulianah mengatakan ini padaku, padahal aku  sama sekali tidak melihat keberadaan suamiku itu. Apakah memang  Yulianah bisa melihat perwujudannya sehingga ia berkata demikian?
Aku  tak tahu pasti. Yang jelas, aku meyakini kalau Yulianah hanya  membohongiku. Buktinya, aku mengalami ketakutan yang teramat sangat  ketika di malam Jum’at Kliwon itu suamiku gaibku datang dan ingin  menjalankan kewajibannya di malam pertama. Memang, sesuai dengan pesan  Ki Badrowi, malam pertamaku dengan suamiku yang genderuwo itu akan  dimulai persis pada malam Jum’at Kliwon. Dan, menurut paranormal itu,  setelah menjalankan kewajibannya di malam pertama, maka suamiku itu akan  memberikan nafkah materinya berupa tumpukan uang dalam jumlah yang  lebih dari mencukupi.
Persis di malam Jum’at itu kebetulan di kampung tempatku tinggal  sedang ada orang hajatan dengan hiburan musik dangdut. Kedua anakku  sejak sore sudah minta ditemani nonton. Karena ada niatan khusus, sudah  tentu aku menyuruh mereka pergi nonton sendiri-sendiri. Yang tinggal di  rumah ayahku yang terbaring sakit dan ibu yang selalu setia menemaninya.
Menjelang pukul 12 malam kedua anakku pulang, dan mereka tidur di  kamar depan. Aku sendiri masih menunggu apa yang akan terjadi. Pintu  kamar kukunci rapat-rapat, meski udara malam itu terasa sangat panas dan  gerah.
Sesuai dengan pesan Ki Badrowi aku sudah berdandan cantik dengan  pakaian yang diaromai oleh minyak khusus pemberian dukun itu, yang  baunya cukup menyengat. Aku tak ubahnya seperti pengantin perempuan yang  sedang menunggu kehadiran sang pengantin pria untuk menikmati bulan  madu.
Menjelang pukul satu dinihari masih tetap tidak terjadi apa-apa.  Akupun mulai lelah menunggu. Sambil menahan kantuk kurebahkan tubuhku di  atas ranjang. Ketika rasa kantuk sudah mulai menggayuti pelupuk mataku,  antara sadar dan tidak aku dikejutkan oleh sesuatu yang terjadi di  dalam kamarku.
Aneh sekali, sosok bayangan hitam sepertinya tiba-tiba muncul dari  balik dinding. Beberapa saat kemudian bayangan itu semakin mempertegas  wujudnya. Ya, seorang lelaki tinggi besar, berbadan hitam dan licin  berkilat. Dan yang sungguh aneh, dia sama sekali tidak mengenakan  pakaian walau sehelai benang pun.
Siapakah lelaki tinggi besar ini? Apakah dia genderuwo yang telah sah  menjadi suamiku? Mengapa sosoknya sedemikian menyeramkan? Padahal,  Yulianah bilang suamiku ini sangat tampan. Apakah Yulianah benar-benar  sudah membohongiku?
Berbagai pertanyaan itu mendera batinku. Kulihat lelaki bugil itu  berdiri sambil memandangi tubuhku. Kemudian pelan-pelan ia menunduk dan  tangannya menyentuh pipiku. Aku bergidik dan berusaha berontak, namun  anehnya seketika itu tubuhku berubah sangat kaku seperti terpasung oleh  suatu kekuatan gaib.
Dengan sangat ketakutan aku hanya bisa pasrah menghadapi sentuhan  makhluk itu. Setelah ia menyentuh pipiku, lalu ia mengendus aroma  rambutku yang tergerai, lalu hidung dan bibirnya menjelar di permukaan  pipi, hidung, bibir dan daguku.
Sejekap kemudian, lelaki menyeramkan itu seperti kalap. Tangannya  yang kekar melingkar di sekujur tubuhku, hingga membuat nafasku semakin  sesak. Bibirnya melumat bibirku, dan sepasang kakinya yang licin  mengkilat itu mengapit kedua belah kakiku dan berusaha  mengangkangkannya.
“Tolooong…!!” Aku ingin berteriak sekeras-kerasnya. Namun celakanya  mulutku bagai tersumbat. Teriakanku hanya menggema di dalam rongga  dadaku.
Tangan pria aneh itu semakin liar menggerayanghi tubuhku, sebelum  akhirnya membuka bajuku dan melepaskan kain yang kupakai. Desah nafasnya  yang memburu bagaikan sebuah kekuatan hipnotis yang membuatku hampir  saja hilang kesadaran.
Tetapi, Tuhan menyayangiku. Dalam keadaan yang sangat kritis itu  tiba-tiba saja mulutku berucap dengan lantang, “Astagfirullah…Allahu  Akbar…Laa Khaula Walaa Kuwwata Illah Billah…!!”
Ya, sekali ini suara itu benar-benar keluar dari mulutku. Dan yang  terjadi di hadapanku sungguh sebuah kenyataan yang sulit dimengerti.
Mendadak saja lelaki telanjang itu terpental dari atas tubuhku,  sambil mengerang keras seperti seekor anjing yang terluka. Bersamaan  dengan itu tubuhku yang semula kaku dapat digerakkan kembali. Spontan  aku melompat dari tempat tidur sambil menjerit-jerit memuji kebesaran  Allah.
“Laa Ilaaha Illallah…Allahu Akbar…Subhanallah…!”
Pujian-pujian itu keluar begitu saja dari mulutku, dengan suara yang  lantang. Sama seperti kejadian semula, sosok makhluk itu mengubah  wujudnya menjadi bayangan hitam lalu hilang seolah masuk ke dalam  dinding.
Tak lama kemudian kedua anakku menggedor-gedor pintu sambil  memanggil-manggil “mama”. Ketika pintu kubuka mereka langsung  berhamburan memelukku dan langsung bertangisan.
“Apa yang terjadi, Ma?” tanya Angga, anak sulungku.
Aku hanya menggeleng-geleng sambil membiarkan air mataku mengalir  deras membasahi sekujur wajahku. Sungguh aku tak kuasa menjelaskan semua  ini kepada kedua anakku. Aku tak ingin melukai perasaan mereka. Aku tak  ingin mereka menudingku telah melakukan kesesatan hanya karena tak  tahan menanggung kesusahan hidup….
Siang setelah malamnya mengalami kejadian aneh tersebut, Yulianah  datang menemuiku dan mengatakan kalau aku telah gagal dalam melakukan  ritual.
“Biarlah kujalani kehidupan seperti ini, Yul! Aku tak ingin lagi  melakukan ritual kawin dengan genderuwo itu,” kataku setelah mendengar  penjelasan Yulianah.
Meski mengaku kecewa, namun Yulianah cukup mengerti dengan  perasaanku. Sebagai sahabat, ia juga meminta agar aku tidak  sungkan-sungkan meminta bantuan padanya bila aku memerlukannya. Namun  sejujurnya, aku tak pernah berani meminjam uang kepada sahabatku ini  walau dalam keadaan sesulit apapun. Ini semata-mata kulakukan karena aku  takut sesuatu akan terjadi terhadap diriku.
Ketika kuputuskan mencurahkan kisah ini kepada Bung Prayoga Gemilang,  tak terasa sudah hampir setengah tahun peristiwa itu berlalu. Walau  begitu, aku masih mengalami perasaan traumatik, sebab bayangan lelaki  alam gaib itu masih sering menghantuiku. Ia sering datang dalam mimpiku  dan menagih malam pertamanya padaku.
Kenyataan tersebut sejujurnya membuat hidupku sangat tercekam. Karena  itulah kumohon kepada Bung Prayoga agar memberikan doa atau amalan  untuk menghilangkan keanehan ini. Dan aku juga ingin agar diberi  kemudahan dalam mencari rezeki, sebab kini aku menjalankan usaha  mengkreditkan barang kebutuhan rumah kepada para konsumen. Aku juga  ingin Bung Prayoga menerawang jejak keberadaan suamiku. Semoga Bung  Prayoga dapat memberikan solusi yang terbaik bagiku….
Tanggapan:
AMALAN DOA MAHA REZEKI
Pengalaman hidup Mbak merupakan pelajaran yang sangat berarti.  Karenanya jangan pernah meningalkan untuk meminta perlindungan kepada  Allah agar tidak tergelincir dan terhindar dari bujukan setan.
Ada beberapa kiat yang dapat kita lakukan agar usaha kita selalu  lancar, antara lain: Memperbanyak membaca istighfar, rajin bersedekah.  Memperbanyak jalinan silaturahmi. Isthiqomah melaksanakan solat dhuha.  Tawakal dari segala urusan, dan senantiasa meningkatkan kualitas takwa  serta selalu berdoa.
Nah, pada kesempatan yang berbahagia ini saat akan ijazahkan khusus  buat Mbak sebuah amalan yang disebut dalam Ilmu Hikmah sebagai Doa Maha Rezeki. Doa ini telah dibuktikan dan diamalkan oleh para auliya dan sholihin  terdahulu dalam rangka untuk menarik rezki yang banyak lagi halal  (tentunya dibarengi dengan usaha lahiriyah), serta dijauhkan dari segala  macam bentuk kemiskinan dan kepapaan.
Cara mengamalkannya:
1. Malam hari setelah shalat Isya’ atau  lebih baik lagi pada tengah malam, lakukanlah salat hajat 2 rakaat 
    atau 4  rakaat.
2. Bacalah salawat nabi ini sebanyak 1000x: ASSHOLATU WASSALAMU ‘ALAIKA WA AALIKA 
    YA SAYIDI, YA ROSULALLAH, AGITSNI SARI’AN BI’IZZATILLAH.
(Artinya: Rahmat serta keselamatan semoga tetap uhtukmu dan keluargamu, wahai junjungan kami, wahai
(Artinya: Rahmat serta keselamatan semoga tetap uhtukmu dan keluargamu, wahai junjungan kami, wahai
    utusan Allah, tolonglah aku  segera dengan kemuliaan Allah).
3. Setelah itu bacalah doa ini dengan  penuh kekhusukan sebanyak 7 kali atau lebih (Sebaiknya hitungan 
    ganjil,  karena Allah menyukai yang ganjil):  
BISMILLAAHIRROHMAANIRROHIIM.  ALLAAHUMMA ROBBANAA ANZIL ‘ALAINA MAA IDATAM MINAS SAMAAI TAKUUNA  ‘IIDAN LI-AWWLAINAA WA AAKHIRINAA WA AAYATAN MINKA WARZUQNAA WA ANTA  KHOIRUR ROOZIQIIN, ALLOOHUMMA IN KAANA RIZQUNAA FIS SAMAA-I FA ANZILHU WA IN KAANA FIL MAAI WAL BAHRI FA  ATHLFHU WA IN KAANA RIZQUNAA BA’IIDAN FAQORRIBHU WA INKAANA RIZQUNAA  QOLIILAN FA AKTSIRHU WA IN KAANA RIZQUNAA ‘AASIRON FAYASSIRHU LANAA WALTANQULNAA ILAIHI HAITSU MAA KAANA  BIFADHLIKA WUJUUDIKA WA-KAROMIKA BIROHMATIKA YAA ARHAMARROOHIMIIN.
(Artinya: “Ya, Tuhan kami, turunkanlah atas kami makanan dari langit di mana (makanan itu) menjadi hari raya bagi orang-orangyang mendahului dan mengakhiri kami, serta menjadi bukti dari-Mu. Engkau adalah sebaik-baik Dzat yang memberi rezki. Ya, Allah, apabila rezki kami berada di atas langit maka turunkanlah ia untukkami; dan apabila berada diperut bumi maka keluarkanlah ia untuk kami; dan apabila berada di dalam air atau di dasar lautan maka munculkan-lah ia untuk kami; dan apabila rezki kami itu jauh, maka dekatkanlah; apabila rezki kami itu sedikit maka perbanyaklah; dan apabila rezki kami itu sulit, maka mudahkanlah untukkami. Dan hendaknyamemboyongkami kepada rezki tersebut di mana ia berada, dengan kemurahan dan kemuliaan-Mu serta rahmat-Mu w.ahai dzat yang paling penyayang).
Lakukanlah Amalan Doa Maha Rezeki ini setiap hari secara tekun dan  rutin sampai Anda benar-benar mendapat pertolongan Allah. Doa ini juga  baik diamalkan ketika Anda sudah sukses. Insya Allah Anda tidak akan  kembali terpuruk dalam kesulitan ekonomi.
Demikian panduan amalan Doa Maha Rezeki, semoga Mbak senantiasa  mendapatkan pertolongan dari Allah. Khusus mengenai suami, saran saya  bertawakallah kepada Allah. Sepertinya sulit untuk berharap dia akan  kembali. Semoga bermanfaat…!
Sumber : Majalah Misteri
Sumber : Majalah Misteri


Post a Comment