Meski dianggap sebagai topik yang tabu dibicarakan, nyatanya tingginya kecenderungan seks bebas dan angka kehamilan di luar nikah di kalangan generasi muda menunjukkan bahwa pendidikan seks itu sebenarnya sangatlah diperlukan.
Sejumlah studi terbaru menyatakan bahwa remaja AS yang mendapatkan informasi memadai tentang seks lebih cenderung untuk tidak melakukan hubungan seksual terlalu dini dan memutuskan untuk menggunakan kondom dan alat kontrasepsi saat dewasa.
Advocates for Youth, sebuah organisasi non-profit yang bergerak di bidang kesehatan reproduksi telah mengevaluasi pendidikan seks di penjuru AS dan menemukan bahwa program pendidikan seks yang komprehensif memberikan sarana bagi para remaja usia sekolah untuk melindungi dirinya sendiri dari penyakit menular seksual dan kehamilan yang tak diinginkan.
Organisasi ini juga menemukan bahwa program pelarangan seks justru tidak mempengaruhi perilaku seksual atau mengurangi penyebaran infeksi menular sekolah maupun tingkat kehamilan di kalangan remaja AS secara signifikan.
Dari hasil analisis yang dilakukan tim peneliti University of Washington terhadapNational Survey of Family Growth yang digelar oleh CDC dikemukakan bahwa remaja berusia 15-19 tahun memiliki kecenderungan 50 persen lebih kecil untuk mengalami kehamilan jika mereka menerima pendidikan seks yang memadai bila dibandingkan dengan hanya melarangnya melakukan seks bebas.
Namun meski beberapa studi di sejumlah negara bagian di AS menyatakan bahwa 70-90 persen orangtua mendukung diberikannya pendidikan seks untuk anak-anak, memutuskan untuk memberikan pendidikan seks atau tidak pada anak sudah cukup membuat orangtua stres.
Elizabeth Shroeder, direktur eksekutif organisasi pendidikan seks berskala nasional, Answer yang berbasis di Rutgers University, New Jersey mengatakan bahwa jika orangtua ingin anak-anaknya sehat maka mereka harus mendukung diberikannya pendidikan seks di sekolah.
"Jika ada orangtua yang tak berkenan anak-anaknya diberi pendidikan seks di sekolah maka sebenarnya mereka melakukannya agar bisa menghindari dari pembahasan terhadap topik sensitif itu. Namun sebenarnya ini adalah kesalahan yang sangat besar jika mereka membiarkan anak-anaknya tak siap menghadapi apa yang akan terjadi di masa depan," terang Shroeder seperti dilansir dari everydayhealth, Selasa (28/8/2012).
Padahal organisasi non-profit di bidang kesehatan reproduksi lainnya, Guttmacher Institute menunjukkan bahwa remaja yang aktif secara seksual dan tidak menggunakan alat kontrasepsi ketika melakukan hubungan seks bebas berpeluang 90 persen mengalami kehamilan hanya dalam kurun waktu satu tahun.
Shroeder memaklumi bahwa pendidikan seks itu sendiri sangat kompleks dan membutuhkan masukan dari berbagai pihak yaitu profesional di bidang kesehatan dan guru hingga orangtua.
"Tapi kami percaya bahwa orangtua merupakan pendidik seks yang paling signifikan bagi anak-anaknya, tapi gagasan bahwa menjadi orangtua membuat mereka secara otomatis dianggap siap untuk melakukan pekerjaan ini justru memberikan beban dan tekanan pada orangtua itu sendiri," tambahnya.
Pendidikan seks dapat memberikan pengetahuan kepada anak-anak tentang cara mencegah penyakit HIV dan infeksi menular seksual lainnya. Para siswa akan didorong untuk mempelajari bagaimana berkata tidak pada seks bebas dan bagaimana membuat pilihan yang aman saat berhubungan seksual termasuk dalam hal penggunaan kondom.
Para siswa juga diajari bagaimana cara memahami dan mencegah kekerasan seksual dan mendorong mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dianggap tabu itu pada orangtua atau dokter agar tidak memunculkan rasa penasaran.
Untuk menciptakan standar pendidikan seks yang lebih komprehensif dan mempromosikan pentingnya kurikulum pendidikan seks, berbagai organisasi yang bergerak di bidang kesehatan reproduksi termasuk Answer dan Advocates for Youth juga mempublikasikan National Sexuality Education Standards pada bulan Januari 2012. Sejumlah organisasi ini berharap dengan adanya standar semacam ini maka pendidikan seks di seluruh negara bagian di AS dapat disamaratakan hasilnya dan dijalankan secara konsisten.
Selain itu, agar para orangtua dapat memastikan bahwa informasi tentang seksualitas yang diterima dan dipelajari oleh anaknya akurat dan sesuai dengan perkembangan usianya, Shroeder menawarkan beberapa tips yaitu:
1. Tanyakan pada sekolah kurikulum pendidikan seks seperti apa yang diajarkan pada anaknya. Jika ada referensinya, cek siapa penulisnya dan bagaimana kredibilitasnya.
2. Cek apakah kurikulum yang diajarkan merupakan publikasi dari organisasi tertentu dan jika iya apa misi, nilai dan kepercayaan yang dibawa oleh organisasi tersebut.
3. Pastikan kurikulumnya telah dievaluasi atau setidaknya akurasi medisnya telah diperiksa atau terbukti benar.
4. Cari tahu siapakah yang mengajarkan pendidikan seks di sekolah dan bagaimana orang itu (guru, dokter atau perawat sekolah) bisa terpilih untuk memberikan pelajaran tentang seks.
Shroeder pun menambahkan, orangtua yang terbaik merupakan orangtua yang informatif. "Pakar pendidikan kesehatan seksual dapat memberikan dukungan pada orangtua dalam hal membangun keterampilan yang mereka butuhkan untuk menjadi orangtua yang 'bisa ditanyai' terkait berbagai informasi tentang seksualitas," katanya.
Di dalam situs organisasi Answer juga dipaparkan berbagai buku tentang seksualitas yang disesuaikan dengan kelompok usia anak-anak berikut daftar referensi yang bisa digunakan orangtua untuk mempelajari pendidikan seksual agar mereka dapat menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan oleh anak-anaknya.
Post a Comment